Setiap tahunnya, Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) memilih
satu film produksi sineas Indonesia untuk menjadi wakil negara dalam
ajang prestisius, Academy Awards.
Sejak tahun 1984, setiap
tahunnya PPFI mengirimkan sebuah film untuk berkompetisi dengan puluhan
film dari negara-negara lain dalam kategori Best Foreign Languange Film.
Memang hanya 5 yang nantinya diumumkan di pesta puncak ajang Oscar dan
sayangnya wakil Indonesia belum pernah masuk ke 5 besar setiap tahunnya.
Tahun
ini, Indonesia mengirimkan SANG PENARI untuk ikut dalam seleksi. Film,
garapan Ifa Isfansyah ini sebelumnya menang sebagai Film Terbaik FFI
2011. Adaptasi novel RONGGENG DUKUH PARUK karya Ahmad Tohari ini kini
menjadi harapan perfilman Indonesia untuk lebih dikenal dunia lewat
ajang sebesar Oscar.
Menang atau tidak itu persoalan nanti, yang
pasti Indonesia patut bangga karena film-filmnya diakui juri Oscar
sebagai kontestan yang patut diperhitungkan.
Yuk intip film apa saja yang pernah menjadi wakil Indonesia!
1. Sang Penari (Tiny Dancer)
Novel
RONGGENG DUKUH PARUK karya Ahmad Tohari diadaptasi dengan baik oleh Ifa
Isfansyah. Garapannya ini menghasilkan Piala Citra FFI 2011 sebagai
Film Terbaik.
SANG PENARI bercerita tentang cerita cinta antara
Rasus (Oka Antara) dan Srintil (Prisia Nasution) dengan setting desa
miskin di era 1960-an. Keduanya saling mencinta.
Akan tetapi,
Srintil yang dipercaya sebagai titisan ronggeng harus mengabdikan diri
kepada seluruh warga desa. Rasus merasa cintanya dirampas, ia pun
memutuskan pergi dari desa untuk menjadi tentara.
Rasus yang
terus memendam cintanya memutuskan untuk kembali ke desa demi menemui
Srintil. Keputusannya ini menuntunnya ke sebuah persimpangan, antara
membela negara dan merebut cintanya kembali.
2. Dibawah Lindungan Kabah (Under The Protection Of Kabah)
Hanny
R Saputra mengangkat kisah novel karya Buya Hamka menjadi drama cinta
yang megah dan mendayu. DI BAWAH LINDUNGAN KABAH dipilih mewakili
Indonesia pada ajang Oscar 2012.
Film yang dibintangi oleh
Herjunot Ali dan Laudya Chintya Bella ini mengambil setting daerah
Minangkabau, Sumatera Barat, di era 1920an. Hamid (Junot) dan Zainab
(Bella) tak bisa mempersatukan cinta mereka karena perbedaan kelas
sosial (ekonomi) mereka. Hal tersebut tak membuat keduanya patah
semangat untuk merajut cinta dan berbagi impian.
Keduanya harus
berjuang terus membuktikan bahwa setiap orang berhak mencintai dan
dicintai. Cinta keduanya pun diuji dengan berat saat Hamid diusir dari
kampung atas tuduhan melanggar norma susila, sedang Zainab akan
dijodohkan oleh orang tuanya.
3. Alangkah Lucunya Negeri Ini (How Funny This Country Is)
Muluk
(Reza Rahadian) adalah sarjana lulusan S1 yang kesulitan mendapat
pekerjaan meski sudah melamar ke sana ke mari. Pencariannya yang panjang
akhirnya berakhir pada sebuah kelompok pencuri yang sebagian besar
terdiri dari anak-anak. Demi memperoleh status "pekerja", Muluk
menawarkan diri menjadi manajer hasil curian di kelompok tersebut.
Film
garapan Deddy Mizwar ini menawarkan banyak sekali kritik sosial kepada
masyarakat tenang persoalan sosial, agama, norma, sampai budi pekerti.
Tokoh Muluk dalam cerita ini dibenturkan pada dilema antara mengentaskan
pencuri-pencuri kecil tersebut atau tidak melakukan apa-apa karena ia
tahu hal tersebut pasti ditentang oleh lingkungan sosial.
Alangkah Lucunya Negeri Ini menjadi wakil Indonesia untuk Oscar tahun 2011, namun tidak berhasil sampai 5 besar.
4. Jamila dan Sang Presiden (Jamila And The President)
Duet
Atiqah Hasiholan dan Christine Hakim diarahkan oleh Ratna Sarumpaet
untuk bermain apik dalam film drama politik berat berbalut kisah
pembunuhan.
Jamila (Atiqah Hasiholan) adalah seorang pekerja seks
komersial yang dipenjara karena telah membunuh seorang menteri. Selama
di penjara, sipir Ria (Christine Hakim) mencari tahu tentang latar
belakang Jamila dan apa yang menjadi sebab ia menjadi pembunuh.
Film
ini dengan gayanya yang kelam memaparkan tentang perdagangan manusia
yang marak terjadi di negara berkembang, khususnya Indonesia.
Jamila dan Sang Presiden diikutkan seleksi pada Oscar 2010 dan tak berhasil lolos ke peringkat 5 besar.
5. Denias Senandung Diatas Awan (Denias Singing In The Cloud)
Sutradara
John de Rantau mengajak kita ke tanah Papua dan mengenalkan
pemandangannya yang indah lewat Denias. Seluruh lanskap indah tanah
Papua direkam dan dimasukkan ke dalam film.
Akan tetapi bukan itu
yang membuat film ini kuat. Kisah Denias (Albert Fakdawer), seorang
anak yang hidup di desa terpencil Papua, dalam memperjuangkan hak
pendidikan lah yang patut diacungi jempol.
Denias bersaing dengan
THE PHOTOGRAPH dan juga OPERA JAWA untuk ajang seleksi tahun 2008. Film
ini akhirnya terpilih meski pada akhirnya tak bisa masuk 5 besar.
6. Berbagi Suami (Love For Shared)
Berbagi
Suami menceritakan 3 kisah para wanita dari berbagai kelas sosial,
agama, dan etnis. Meski berbeda latar belakang, ketiganya sama-sama
menyoal tentang isu poligami.
Ketiga kisah di dalam film antara lain:
Kisah Salma (Kalangan atas, etnis Betawi)
Kisah Siti (Kalangan bawah, etnis Jawa )
Kisang Ming (Etnis Cina)
Didukung
oleh ensemble cast yang mumpuni, ketiga kisah yang ternyata berkaitan
satu sama lain ini menjadi sebuah suguhan drama bermutu yang berisi
kritik sosial.
Berbagi Suami diikutsertakan dalam ajang Oscar 2007 namun tak berhasil mencapai 5 besar.
7. GIE
Dari
CATATAN SEORANG DEMONSTRAN, Riri Riza menghasilkan karya yang megah
serta kolosal. Dalam penggarapannya, Riri melibatkan banyak orang baik
sebagai pemeran utama dan pendukung, mau pun para figuran.
GIE
bercerita tentang sosok Soe Hoe Gie (Nicholas Saputra), mahasiswa
Universitas Indonesia yang kritis sebagai aktivis dan juga seorang
pecinta lingkungan. Film ini merupakan biopik kehidupan sang aktivis
dengan sedikit dramatisasi.
Soe Hoe Gie semasa hidupnya terus
memperjuangkan keadilan di Indonesia. Salah satu tujuannya menggerakan
mahasiswa untuk menggulingkan rezim Soekarno meski sejatinya ia
menghormati Soekarno sebagai founding father Indonesia. GIE menyorot
tentang usahanya tersebut serta kehidupannya selepas rezim Soekarno
runtuh.
GIE berhasil menjadi Film Terbaik FFI 2005.
Keikutsertaannya dalam ajang Oscar 2005 tak sampai 5 besar kandidat Best
Foreign Language Film.
8. Biola Tak Berdawai (Stringless Volin)
Biola
Tak Berdawai bercerita tentang kehidupan Renjani (Ria Irawan), seorang
balerina yang sedang memulihkan diri akibat pernah diperkosa. Dalam
pemulihan dirinya tersebut, Renjani memutuskan untuk membangun sebuah
panti asuhan.
Niat mulianya tersebut mempertemukannya dengan
orang-orang baru dalam kehidupannya, seperti Dr. Wid (Jajang C Noer),
seorang dokter yang adalah anak dari seorang pelacur dan juga Dewa
(Dicky Lebrianto) seorang anak cacat yang mengalami distorsi fungsi
otak.
Rasa sayang Renjani kepada Dewa membuatnya bertekad untuk
terus merawat "anaknya" tersebut. Sampai suatu saat ia tahu bahwa Dewa
bisa sembuh dengan terapi musik. Ia pun bertemu dengan Bhisma (Nicholas
Saputra) seorang pemain biola yang membantunya untuk menyembuhkan Dewa.
Film drama yang punya ending mengejutkan ini disutradarai oleh Sekar Ayu Asmara.
9. Ca Bau Kan (The Courtesan)
Ca
Bau Kan adalah film drama yang diangkat dari novel karya Remy Sylado.
Setting ceritanya mencakup zaman kolonial Belanda di era 1930-an,
pendudukan Jepang pada 1940-an, sampai pasca-kemerdekaan tahun 1960.
Ca
Bau Kan dalam bahasa Hokkian punya arti "perempuan". Pada saat zaman
kolonial istilah ini diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau
perempuan simpanan orang Tionghoa.
Film ini mengangkat kisah
kehidupan seorang wanita pribumi bernama Tinung (Lola Amaria), seorang
ca-bau-kan yang hidup di daerah Kaljodo, Batavia. Kehidupan Tinung berat
dan berliku, namun sejak pertemuannya dengan Tan Pen Liang (Ferry
Salim), ia bisa menata hidupnya kembali meski melalui perjuangan
panjang.
Film ini disutradarai oleh Nia di Nata, dan dimainkan antara lain oleh Niniek L. Karim, Ferry Salim dan Lola Amaria.
10. Daun Diatas Bantal (Leaf On A Pillow)
Daun
Diatas Bantal adalah film garapan salah satu maestro perfilman tanah
air, Garin Nugroho. Film yang berkisah tentang kehidupan anak jalanan di
kota Yogyakarta ini makin kuat dari segi keaktingan dengan hadirnya
Christine Hakim sebagai ibu Asih.
Yang membuat film ini unik
selain ceritanya yang solid adalah para pemerannya yang terdiri dari
anak-anak jalanan sungguhan. Dengan cerdik Garin mengarahkan mereka
memerankan kisah mereka sendiri.
Meski tak lolos nominasi Oscar, Daun Diatas Bantal masuk Un Certain Regard section pada Cannes Film Festival 1998.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar